Suku
bugis merupakan suku yang hampir atau seluruhnya beragama islam. Tidak ada
suku, selain Arab, yang begitu identik dengan islam. Dalam masyarakat bugis,
sangat aneh terdengar jika ada orang bugis yang agamanya bukan islam. Jika ada orang
bugis yang beragama lain atau pindah agama (dan ini sangat sangat sedikit), ia
akan dianggap “orang lain”. Padahal orang bugis tidak pernah menjuluki
sesamanya dengan “orang lain” selain disebabkan karena dia bukan lagi islam.
Jika tidak ada hubungan kekerabatan, beda kampung, beda dialek, atau
perbedaan-perbedaan lainnya selama bukan perbedaan agama, maka orang bugis akan
tetap menganggap itu bagian dari mereka. Pernah ada seseorang wanita bugis yang
beragama islam, yang menikah dengan laki-laki kristen sehingga wanita tersebut
pindah agama. Ibu wanita tersebut berujar,” semua kamu harus tanggung sendiri,
kamu bodoh sekali, kamu memilih menjadi orang lain. Saya tidak bisa berbuat
apa-apa”. Saya juga pernah mendengar bapak saya, mengatakan “orang lain” untuk
menyebut orang yang bukan islam di beberapa daerah di sulawesi (poso, toraja).
Ini menunjukkan bahwa ikatan agama (islam) dalam orang-orang bugis sangat kuat,
melebihi ikatan yang lain bahkan ikatan darah (saudara).
Saya tertarik mencari informasi lebih jauh bagaimana
hubungan bugis dan islam, sehingga islam begitu tertanam dan mendarah daging
dalam kehidupan orang bugis. Saya search tentang suku bugis dan bagaimana
sejarah masuknya islam ke sulawesi khususnya sulawesi selatan. Saya sangat
tercengang (padahal kalau pakai kata “tercengang” sudah menunjukkan ”sangat”,
tapi untuk menunjukkan takjub luar biasa, saya menggabungkan keduanya) membaca
bagaimana islam memang adalah agama suku bugis sejak sekitar abad 17. Bahkan
dalam sebuah situs misionaris kristen, saya membaca profil suku bugis yg
ditulis oleh mereka dan terus terang dikatakan bahwa islam begitu mengakar kuat
dalam masyarakat bugis sehingga mereka menargetkan untuk mengkristenkan orang2
bugis. Saya juga membaca sejarah masuknya islam ke sulawesi, bagaimana sebuah
suku besar dapat menerima islam menjadi agamanya dan tersebar ke seluruh daerah
di sulawesi. Ini tidak terlepas dari peran pedagang islam yang memperkenalkan
islam. Saya berpikir, bahwa ternyata memang orang-orang islam itu tahu betul
sabda Rasulullah yang mengatakan 9 dari 10 pintu rezeki lewat pintu
perdagangan/bisnis, sehingga mereka rata-rata pedagang. Tapi bukan sekedar
pedagang, tapi mereka punya misi besar, yaitu membawa ajaran islam yang
merupakan barang dagangan termahal mereka. Saya juga kagum pada da’i yang
diutus. Mengislamkan para raja dan
penguasa sehingga dengan mudah rakyatnya ikut ajaran islam. Dan kekaguman saya
selanjutnya adalah kepada raja gowa yang telah masuk islam, yang memegang betul
paseng (ikrar): "Barang siapa
menemukan jalan yang lebih baik, hendaklah ia menyampaikan kepada orang lain
dan seterusnya". Paseng ini tidak lain
merupakan implemenatasi dari firman Allah, “kalian
adalah umat yang terbaik yang diutus, menyuruh kepada yang ma’ruf....”dan sabda
Rasulullah, Ballighuni walau ayah
(sampaikanlah dariku walau satu ayat)....dan dengan semangat ini, mereka
menyebarkan islam lewat kekuasaan mereka. Tentu ini merupakan bukti bagusnya
pemahaman mereka tentang islam, termasuk jihad.
Berikut sejarah masuknya
islam di sulawesi selatan :
Pada
masa pemerintahan Tunijallo (1565-1590) telah didirikan sebuah masjid di
Mangallekanna (Somba Opu),
tempat para pedagang muslim bermukim.
Kehadiran para pedagang Muslim tersebut membawa pengaruh terhadap penduduk
setempat. Di antara mereka ada yang tertarik dengan ajaran Islam. Berawal dari
sinilah kemudian ajaran Islam berkembang luas di seluruh wilayah kekuasaan
Kerajaan Gowa-Tallo. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, menurut Ensiklopedi
Islam, melalui dua tahapan. Pertama, secara tidak resmi penyebaran Islam
terjadi melalui jalur perdagangan. Banyak pedagang asal Sulawesi yang berdagang
ke luar pulau dan bertemu dengan para saudagar Muslim. Lewat pertemuan itu,
para saudagar Sulawesi memeluk Islam. Selain itu, banyak pula pedagang Muslim
dari luar Sulawesi yang berniaga di wilayah itu. Mereka berdagang sambil
melakukan syiar Islam. Dari proses ini, banyak penduduk setempat yang akhirnya
tertarik untuk belajar agama Islam dan akhirnya menjadi Muslim. Tahapan kedua,
Islam secara resmiuuenmd uien rcaja uowa-iano paoa malam Jumat, 9 Jumadil Awal
1014 H atau bertepatan dengan 22 September 1605 M yang ditandai dengan
kedatangan tiga orang datuk yang berasal dari Kota Tengah, Minangkabau.
Di
antara para bangsawan yang pertama menerima Islam, menurut Lontara, adalah
Mangkubumi Kerajaan Gowa yang juga menjabat sebagai Raja Tallo, bernama I
Malingkaang Daeng Nyonri atau Karaeng Katangka yang kemudian mendapatkan nama
Islam Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa ke-14
Mangarangi Daeng Manrabia juga menyatakan keislamannya yang kemudian diberi
nama Sultan Alauddin.
Agama
kerajaan
Setelah
itu, terjadi koversi ke dalam Islam secara besar-besaran yang ditandai dengan
keluarnya dekrit oleh Sultan Alauddin pada 9 November 1607. Dekrit itu berbunyi
"Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh
rakyat yang bernaung di bawah kerajaan harus menerima Islam sebagai
agamanya".
Penerimaan
Islam di wilayah Gowa yang berlangsung secara damai tersebutkemudian mulai
menimbulkan masalah ketika raja Gowa menyerukan agar kerajaan-kerajaan tetangga
untuk memeluk Islam. Tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam Aliansi
Tellumpocco menolak seruan itu sehingga terjadi perang antara Kerajaan Makassar
yang diwakili oleh Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bugis yang diwakili oleh
Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Perang
tersebut dalam Lontara Bugis diistilahkan sebagai Musu Selleng atau Perang
Islam. Perang itu dilancarkan Gowa-Tallo atas dasar konvensi di kalangan
raja-raja Bugis-Makassar bahwa "Barang siapa menemukan jalan yang lebih
baik, hendaklah ia menyampaikan kepada orang lain dan seterusnya".
Berturut-turut
menerima Islam : Kerajaan Sidenreng dan Rappang tahun 1608, Kerajaan Soppeng
tahun 1609, kerajaan Wajo tahun 1610 dan kerajaan Bone tahun 1611..
Masuknya raja Bone dalam agama Islam membuat sebagian besar wilayah Sulawesi
Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja.
Raja Wajo Lasangkuru
Mulajaji ketika akan menerima Islam mengajukan syarat dan disepakati oleh raja
Gowa : “Tenna reddu muiwesseku, tenna timpa salewoku, tenna sesse balaori
tampukku”. Artinya, tidak merampas kerajaanku, tidak mengambil harta rakyatku
dan tidak mengambil barang-barang milikku.
Selanjutnya Islam
menanamkan terus pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, sehingga adat dan
agama menyatu dalam sistem nilai dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Islam telah
menjadi jiwa pertahanan rakyat, sehingga daerah ini termasuk paling akhir
dijamah oleh Belanda. Suatu bukti, bahwa barulah pada tahun 1905 Kerajaan
Sidenreng dan Rappang di bawah Addatuang La Sadapotto menyerah setalah melalui
peperangan seru yang meninggalkan banyak korban, karena rakyat tidak mau
dijajah oleh orang kafir.
Adanya penganut
agama Nasrani di daerah ini, karena agama itu terbawa oleh penjajah Belanda.
Jumlahnya pun relative sedikit, tidak terdapat pada suku Makassar, Bugis dan
Mandar sebagai suku terbesar Sulawesi Selatan.
Akhir kata, katakanlah
kebenaran meskipun itu pahit....