Ganggawa di Malam Hari

Orang bilang sangat pekat ini malam Ujung jari tak tampak mereka bilang

Menjadi Seorang Murobbi

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21 : 107)

FOTO KKN

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

ISLAMIC CAMP

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNM

Lokasi di Jl Dg Tata Raya, Parangtambung Makassar, Sulawesi Selatan

Sunday 21 October 2012

Islam dan Bugis

Suku bugis merupakan suku yang hampir atau seluruhnya beragama islam. Tidak ada suku, selain Arab, yang begitu identik dengan islam. Dalam masyarakat bugis, sangat aneh terdengar jika ada orang bugis yang agamanya bukan islam. Jika ada orang bugis yang beragama lain atau pindah agama (dan ini sangat sangat sedikit), ia akan dianggap “orang lain”. Padahal orang bugis tidak pernah menjuluki sesamanya dengan “orang lain” selain disebabkan karena dia bukan lagi islam. Jika tidak ada hubungan kekerabatan, beda kampung, beda dialek, atau perbedaan-perbedaan lainnya selama bukan perbedaan agama, maka orang bugis akan tetap menganggap itu bagian dari mereka. Pernah ada seseorang wanita bugis yang beragama islam, yang menikah dengan laki-laki kristen sehingga wanita tersebut pindah agama. Ibu wanita tersebut berujar,” semua kamu harus tanggung sendiri, kamu bodoh sekali, kamu memilih menjadi orang lain. Saya tidak bisa berbuat apa-apa”. Saya juga pernah mendengar bapak saya, mengatakan “orang lain” untuk menyebut orang yang bukan islam di beberapa daerah di sulawesi (poso, toraja). Ini menunjukkan bahwa ikatan agama (islam) dalam orang-orang bugis sangat kuat, melebihi ikatan yang lain bahkan ikatan darah (saudara).
Saya tertarik mencari informasi lebih jauh bagaimana hubungan bugis dan islam, sehingga islam begitu tertanam dan mendarah daging dalam kehidupan orang bugis. Saya search tentang suku bugis dan bagaimana sejarah masuknya islam ke sulawesi khususnya sulawesi selatan. Saya sangat tercengang (padahal kalau pakai kata “tercengang” sudah menunjukkan ”sangat”, tapi untuk menunjukkan takjub luar biasa, saya menggabungkan keduanya) membaca bagaimana islam memang adalah agama suku bugis sejak sekitar abad 17. Bahkan dalam sebuah situs misionaris kristen, saya membaca profil suku bugis yg ditulis oleh mereka dan terus terang dikatakan bahwa islam begitu mengakar kuat dalam masyarakat bugis sehingga mereka menargetkan untuk mengkristenkan orang2 bugis. Saya juga membaca sejarah masuknya islam ke sulawesi, bagaimana sebuah suku besar dapat menerima islam menjadi agamanya dan tersebar ke seluruh daerah di sulawesi. Ini tidak terlepas dari peran pedagang islam yang memperkenalkan islam. Saya berpikir, bahwa ternyata memang orang-orang islam itu tahu betul sabda Rasulullah yang mengatakan 9 dari 10 pintu rezeki lewat pintu perdagangan/bisnis, sehingga mereka rata-rata pedagang. Tapi bukan sekedar pedagang, tapi mereka punya misi besar, yaitu membawa ajaran islam yang merupakan barang dagangan termahal mereka. Saya juga kagum pada da’i yang diutus. Mengislamkan para  raja dan penguasa sehingga dengan mudah rakyatnya ikut ajaran islam. Dan kekaguman saya selanjutnya adalah kepada raja gowa yang telah masuk islam, yang memegang betul paseng (ikrar): "Barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, hendaklah ia menyampaikan kepada orang lain dan seterusnya". Paseng ini tidak lain merupakan implemenatasi dari firman Allah, “kalian adalah umat yang terbaik yang diutus, menyuruh kepada yang ma’ruf....”dan sabda Rasulullah, Ballighuni walau ayah (sampaikanlah dariku walau satu ayat)....dan dengan semangat ini, mereka menyebarkan islam lewat kekuasaan mereka. Tentu ini merupakan bukti bagusnya pemahaman mereka tentang islam, termasuk jihad.
Berikut sejarah masuknya islam di sulawesi selatan :
Pada masa pemerintahan Tunijallo (1565-1590) telah didirikan sebuah masjid di Mangallekanna (Somba Opu), tempat para pedagang muslim bermukim. Kehadiran para pedagang Muslim tersebut membawa pengaruh terhadap penduduk setempat. Di antara mereka ada yang tertarik dengan ajaran Islam. Berawal dari sinilah kemudian ajaran Islam berkembang luas di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, menurut Ensiklopedi Islam, melalui dua tahapan. Pertama, secara tidak resmi penyebaran Islam terjadi melalui jalur perdagangan. Banyak pedagang asal Sulawesi yang berdagang ke luar pulau dan bertemu dengan para saudagar Muslim. Lewat pertemuan itu, para saudagar Sulawesi memeluk Islam. Selain itu, banyak pula pedagang Muslim dari luar Sulawesi yang berniaga di wilayah itu. Mereka berdagang sambil melakukan syiar Islam. Dari proses ini, banyak penduduk setempat yang akhirnya tertarik untuk belajar agama Islam dan akhirnya menjadi Muslim. Tahapan kedua, Islam secara resmiuuenmd uien rcaja uowa-iano paoa malam Jumat, 9 Jumadil Awal 1014 H atau bertepatan dengan 22 September 1605 M yang ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk yang berasal dari Kota Tengah, Minangkabau.
Di antara para bangsawan yang pertama menerima Islam, menurut Lontara, adalah Mangkubumi Kerajaan Gowa yang juga menjabat sebagai Raja Tallo, bernama I Malingkaang Daeng Nyonri atau Karaeng Katangka yang kemudian mendapatkan nama Islam Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa ke-14 Mangarangi Daeng Manrabia juga menyatakan keislamannya yang kemudian diberi nama Sultan Alauddin.
Agama kerajaan
Setelah itu, terjadi koversi ke dalam Islam secara besar-besaran yang ditandai dengan keluarnya dekrit oleh Sultan Alauddin pada 9 November 1607. Dekrit itu berbunyi "Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang bernaung di bawah kerajaan harus menerima Islam sebagai agamanya".
Penerimaan Islam di wilayah Gowa yang berlangsung secara damai tersebutkemudian mulai menimbulkan masalah ketika raja Gowa menyerukan agar kerajaan-kerajaan tetangga untuk memeluk Islam. Tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam Aliansi Tellumpocco menolak seruan itu sehingga terjadi perang antara Kerajaan Makassar yang diwakili oleh Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bugis yang diwakili oleh Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Perang tersebut dalam Lontara Bugis diistilahkan sebagai Musu Selleng atau Perang Islam. Perang itu dilancarkan Gowa-Tallo atas dasar konvensi di kalangan raja-raja Bugis-Makassar bahwa "Barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, hendaklah ia menyampaikan kepada orang lain dan seterusnya".
Berturut-turut menerima Islam : Kerajaan Sidenreng dan Rappang tahun 1608, Kerajaan Soppeng tahun 1609, kerajaan Wajo tahun 1610 dan kerajaan Bone tahun 1611.. Masuknya raja Bone dalam agama Islam membuat sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja.
Raja Wajo Lasangkuru Mulajaji ketika akan menerima Islam mengajukan syarat dan disepakati oleh raja Gowa : “Tenna reddu muiwesseku, tenna timpa salewoku, tenna sesse balaori tampukku”. Artinya, tidak merampas kerajaanku, tidak mengambil harta rakyatku dan tidak mengambil barang-barang milikku.
Selanjutnya Islam menanamkan terus pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, sehingga adat dan agama menyatu dalam sistem nilai dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Islam telah menjadi jiwa pertahanan rakyat, sehingga daerah ini termasuk paling akhir dijamah oleh Belanda. Suatu bukti, bahwa barulah pada tahun 1905 Kerajaan Sidenreng dan Rappang di bawah Addatuang La Sadapotto menyerah setalah melalui peperangan seru yang meninggalkan banyak korban, karena rakyat tidak mau dijajah oleh orang kafir.
Adanya penganut agama Nasrani di daerah ini, karena agama itu terbawa oleh penjajah Belanda. Jumlahnya pun relative sedikit, tidak terdapat pada suku Makassar, Bugis dan Mandar sebagai suku terbesar Sulawesi Selatan.
Akhir kata, katakanlah kebenaran meskipun itu pahit....

Friday 12 October 2012

Laut dan Langit

aku laut
engkau langit
manusia mengira, kita bertemu pada cakrawala
padahal tidak begitu adanya

laut mengusap pantai dengan ombaknya
langit bercengkerama dengan awan-awannya
manusia di pantai melihat kita bersama-sama
padahal kita hidup sendiri-sendiri

warnaku biru laut
warnamu biru langit
apakah manusia tahu, biruku sebenarnya adalah pantulan birumu?

adakah manusia yang benar-benar memahami kita
tak melihat dari indahnya saja

karena aku laut dan engkau langit
meskipun serasi,
mustahil duduk saling bersisi

#efek dari melaut kali ya :D