Rangkuman:
Sering
kita mendapati kelas seperti “bengkel ketok magic”. Isinya seperti
kendaraan-kendaraan habis kecelakaan. Hampir seluruh murid juga pernah
mengalami tekanan mental. Mereka seakan
menjadi objek emosi guru. Mereka hanya terus dibebani tugas-tugas tanpa pernah
diajar mengapa ia mesti mengerjakannya. Melihat realitas itu, cara mendidik
guru butuh pembenahan.
Harus
ada upaya perbaikan cara mendidik. Siswa tidak hanya memiliki ruang intelektual
yang bisa dipuaskan dengan deretan teori logika, tapi ia juga memiliki ruang
emosi yang mencari “makna”, bagaimana mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan. Karena
itu, keberhasilan mendidik tidak bisa diwakilkan pada dua digit angka belaka.
Dari
sini, kita mengenal bagaimana pentingnya mendidik agar murid cerdas otak dan
hatinya. Maka, membenahi cara mendidik itu adalah dengan keteladanan. Membangun
falsafah mengajar dengan falsafah “guru”. Falsafah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh).
Siang
itu, peluh muncul menyerupai butiran-butiran embun di kening para murid. Mereka
gugup gemetar, seperti budak tak berkutik di depan majikannya. Sebuah tamparan
keras baru saja mendarat di wajah seorang diantara mereka. Siddiq, Siswa kelas
XI salah satu SMA di Makassar. Korban berikutnya yang tidak mengerjakan PR, terpaksa
harus menjadi bulan-bulanan Guru Olahraganya. Bagi Siddiq, kelas seperti tempat
luapan kekejaman guru. Setiap guru yang masuk, seperti “monster ganas” yang
akan melumat habis tulang-tulang mereka. Kelasnya bagaikan “bengkel ketok magic”.
Isinya seperti kendaraan-kendaraan habis kecelakaan. Hampir seluruh murid juga
pernah mengalami tekanan mental. Murid sudah menjadi objek emosi guru di kelas.
Murid tidak mendapat porsi mengembangkan idenya. Mereka hanya terus dibebani
tugas-tugas tanpa pernah diajar mengapa ia mesti mengerjakannya. Gambaran ini
menyiratkan bahwa cara mendidik guru butuh pembenahan.
Harus
ada upaya perbaikan cara mendidik. Betapa menyakitkannya sebagian guru yang mengajar
tanpa memperhatikan perasaan siswanya. Padahal, siswa bukanlah sebatang kayu
yang siap dipahat menjadi sebuah patung pajangan. Ia adalah makhluk bernyawa
yang memiliki perasaan untuk tumbuh dan berkembang mengenal arti kehidupan. Siswa
tidak hanya memiliki ruang intelektual yang bisa dipuaskan dengan deretan teori
logika, tapi ia juga memiliki ruang emosi yang mencari “makna”, bagaimana mendapatkan
kebahagiaan dan kemuliaan.
Karena
itu, keberhasilan mendidik tidak bisa diwakilkan pada dua digit angka belaka.
Kepribadian tidak bisa disandarkan hanya dengan kata “tuntas” atau “tidak
tuntas” menurut KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang disusun guru. Keberhasilan
mendidik adalah proses yang kompleks. Selama mendidik, hasilnya masih terus
dierami oleh “skor hasil belajar”, maka yang menetas hanya bocah dengan kepala
yang mirip “gentong-gentong ilmu”. Oleh sebab itu, kita penting mengetahui bagaimana
membangun karakter siswa secara utuh. Mendidik dengan mencerdaskan otak dan
hatinya.
Yakinlah,
angka-angka dan deretan huruf tidak akan dapat mengubah karakter siswa. Justru
bisa menganiaya mereka. Kalau kapasistas IQ-nya pas-pasan, sementara dipaksa
untuk belajar kalkulus integral yang “jelimet”, hanya akan mematikan karakter
siswa. Dari pemaksaan seperti itu, akan lahir konsep diri negatif, pikiran negatif,
kecemasan, dan ketidak-percayadiri-an. Hingga yang tumbuh dan berkembang adalah
mental-mental “katak dalam tempurung”. Padahal diketahui, sekolah tidak boleh
menjadi penjara yang memasung karakter siswa. Membuat mereka seperti kucing
ompong yang sudah dicabuti kuku-kukunya atau seperti menjadi mayat-mayat hidup
yang berjalan tanpa ekspresi.
Karena
itu, mendidik bukan pekerjaan mudah. Mendidik membutuhkan kepiawaian mengelola dua
sifat yang bertolak belakang dalam diri guru, kesabaran dan ketekunan. Ia
membutuhkan cinta dan ketegasan pada saat yang sama. Mendidik menuntut bukti membangun
karakter. Menghadapi orang pintar itu mudah. Akan tetapi yang sulit adalah membentuk
seorang dungu menjadi pemimpin besar, suatu saat nanti. Pantaslah, mendidik butuh
banyak waktu, dan kerja keras sebagaimana merubah tumpukan batu tambang menjadi
emas.
Terkadang
bagi guru, ilmu kearifan bertarung dalam diri melawan rasa marah menghadapi
siswa. Namun, ia mesti menang, atas dasar keyakinan bahwa, selalu saja ada potensi
luar biasa yang dipendam siswa. Tidak berarti, murid yang mengabaikan tugas-tugasnya
identik dengan malas. Siapa yang
menyangka, bahwa murid seperti itu ternyata tengah sibuk menyusun sebuah novel bakal
best seller ?. Begitu pula, menghadapi
siswa yang merasa “capek” duduk diam, namun tidak pernah “capek” berlarian
mengejar bola di tengah matahari terik. Karena ia ternyata seorang calon pemain
bola terkenal.
Di
sinilah guru menunjukkan perannya. Mampu mendalami diri muridnya dan menunjukkan
diri sebagai seorang yang patut mengajarkan ilmu karena ia adalah sumber ilmu
bagi muridnya.
Kita
bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah di sebuah sekolah di pelosok
Majene, Sulawesi Barat. Sebut saja Ida, seorang murid yang namanya sudah
berulang kali disebut dalam rapat siswa bermasalah oleh Dewan Guru. Ia sudah memperoleh
nyaris semua jenis hukuman. Namun, tak satu pun dari sanksi itu membuatnya
bergeming. Hukuman terakhir diperolehnya dari Guru Pelajaran Bahasa yang diampu
oleh -sebutlah- Bapak Abdul. Ia diperintahkan menulis kalimat “Aku Malu Datang
Terlambat” sebanyak 10.000 kali, dan dilarang masuk dalam pelajarannya sebelum memungkaskan
tugas itu. Ternyata Ida menyanggupi sanksinya. Ia menulis kata-kata itu di
setiap kesempatannya. Hampir tidak ada lagi waktu baginya untuk melakukan
aktivitas lain.
Apa
yang terjadi ?. Sekitar 6 tahun kemudian, Ida mendatangi Pak Abdul. Kedatangannya
membuat Pak Abdul heran karena bersama derai air mata di pipinya. Ia ternyata sudah
menjadi seorang dokter yang sukses. Saat ditanya tentang keberhasilannya, Ida
menjawab “Dengan hukuman bapak, saya menjadi sadar. Saya menangisi diri, saat menjalaninya.
Tugas itulah yang menidurkan saya. Ia pula yang membangunkan saya, saat bapak
dan ibu saya tidak pernah memberi perhatian dengan kesibukan di kantornya.
Terima kasih pak atas hukumannya”.
Seperti
inilah guru yang kita inginkan. Mendidik dengan cinta, namun tegas dalam keputusan.
Hukumannya seperti obat. Pahit, namun menjadi terapi. Peringatannya ditakuti,
namun ketidakhadirannya dirindukan. Itu semua karena keputusannya dibangun di
atas kebijaksanaan sebagai simbol “ilmu” yang berpengaruh dalam dirinya.
Di
samping itu, murid butuh guru yang perhatian. Mereka membutuhkan sentuhan kasih
orang tua yang mengelus kepalanya dengan ikhlas, membekas hingga ke hati. Murid
merindukan guru yang menyayangi mereka. Hatinya butuh kehangatan jiwa seorang
pendidik, dan kesejukan kata-kata yang menyentuh dasar kalbunya. Jiwa mereka
mencari seorang figur yang mengajarkannya bagaimana memperoleh kebahagiaan.
Serta sederhana dalam berbuat, namun tegas dalam perkataan.
Mendidik
adalah mengarahkan murid agar bisa meraih kebahagiaan. Bukan hanya untuk
pintar. Mendidik adalah pengarahan, agar siswa mengerti jalan hidupnya. Mendidik
adalah membentuk karakter dan merubah kepribadian. Jujur, dan bertanggung jawab,
dari situlah kemuliaan muncul. Hanya saja, semua itu bukan lahir dari deretan
soal pilihan ganda ilmu eksak, atau panjangnya lintasan olah raga dalam satuan lari
jarak jauh. Atau mungkin, dari tugas mengarang pelajaran bahasa. Semua itu
lahir dari kepribadian guru sendiri. Karena gurulah cermin siswa dalam berbuat.
Kata-katanyalah yang juga berulang dalam kalimat anak-anak di kesehariannya.
Dan ketika ditanya mengapa ia rajin membantu orang tuanya, ia akan menjawab “kata
guruku pak, seperti ini adalah pekerjaan mulia”.
Membangun Karakter Murid dengan Keteladanan
Guru
adalah teladan, yang mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana menjadi mulia. Guru adalah pemimpin, orangtua, dan juga
pendidik. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan
sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri
dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Menjadi mulia dengan keteladanan, tidak bisa
didekati dengan deretan daftar Standar Kompetensi atau Kompetensi Dasar. SK dan
KD hanya perbincangan dalam tataran materi. Adapun karakter, sikap gurulah yang
paling berpengaruh membentuk siswa.
Hal
yang membekas dalam diri murid bukan rumus yang terpampang di papan tulis, tapi
bagaimana kesan guru menulisnya. Apakah ia tampil dengan “doktrin” paksaan atau
dengan pesan kearifan. Hingga bukan hanya ilmunya yang sampai, tapi “caranya”
menarik simpati dan membekas dalam hati murid, karena ia juga berasal dari
hati.
Karena
itu, mendidik harus dibangun di atas falsafah ke-guru-an. Falsafah “digugu” dan
“ditiru”. Mengembalikan peran guru sebagai sosok yang pantas didengar
perkataannya dan ditiru perbuatannya. Sehingga mendidik bukan sekedar aktivitas
transfer ilmu. Tapi pembentukan kepribadian, pengisian nilai dan pengaruh ke
dalam jiwa murid.
Karena
pada kenyataannya, mental murid telah babak belur dikeroyok oleh “paradoks”. Mereka terlalu sering melihat guru
yang marah-marah karena murid terlambat, sementara suka meringkas jam
mengajarnya. Mereka sesungguhnya bosan dengan pendidik yang hanya bisa menyuruh
mereka menyalin kisah-kisah dari buku teks sejarah, tapi tidak pernah mengajarkan
pentingnya “nilai” sebuah warisan sejarah. Simpati murid bukan tertuju pada perbedaan
homonim, homofon dan homograf dalam pelajaran bahasa. Karena memang, bukan itu
yang membentuk karakternya. Terlalu naif, jika menjadikan isi pelajaran harus
dipaksa untuk dikait-kaitkan dengan pembentukan karakter, hanya karena tuntutan
pembuatan “RPP berkarakter”. Terlalu lama kita membohongi diri untuk hal-hal
seperti itu. Materi tetap saja materi. Ia hanya mengisi lokus intelegensi dalam
otak siswa. Adapun yang mengisi hatinya adalah bagaimana cara guru tampil
menunjukkan sosok yang pantas “digugu” dan “ditiru”.
Tulisan
ini bukanlah “kutukan”. Atau mungkin sebuah
judgement. Tulisan ini hanya sebuah “tepukan
kecil di pundak” agar kita mau menoleh ke belakang. Membenahi cara mendidik guru
dengan bekal keteladanan bagi murid-muridnya. Karena yang dibutuhkan hari ini,
bukanlah para “pengamat” yang pandai berceloteh. Namun “pelaku” yang turut
mengambil peran dengan menjadi figur. Karena itu, mari menjadi “guru” !.
Menjadi sosok yang pantas “digugu” (didengar) dan “ditiru” (diikuti). Menjadi sosok yang mulia dengan keteladanan. Pribadi
sederhana, namun berpengaruh dengan contoh
dalam berkata dan berbuat.