Oleh : Murni Ramli (murniramli.blogspot.com)
Tadi
malam adalah hari pertama saya menunaikan sholat Isya dan tarawih di Masjid
Al-Muhajirin Madiun. Saya meliburkan diri dari kegiatan kampus lebih cepat
daripada rekan-rekan yang wajib menunggu upacara peringatan 17 Agustus.
Keputusan untuk pulang kampung lebih cepat saya ambil karena tidak mau
berdesak-desakan dengan sesama pemudik, dan agar perjalanan yang biasanya saya
tempuh 6 jam tidak bertambah panjang karena antrean kemacetan. Alhamdulillah,
kemarin jalanan sangat lancar, dan pengemudi bis Sumber Kencono (Sumber
Selamat) yang saya tumpangi, sekalipun berpenampilan tak lazim (anting dan
rambut merah), menyetir dengan sangat baik. Sayang, dia tidak puasa, masih
merokok, dan menelepon dengan HP selama mengemudi.
Berangkat dari Semarang pukul 10 pagi, dan mampir sholat dhuhur di
musholla terminal Tirtonadi, kemudian ganti bis, saya akhirnya tiba di rumah
pukul 16.00. Di rumah hanya ada adik laki-laki yang sedang meracik bukaan. Ya,
mamak dan kakak masih di Bone, sementara adik laki-laki lainnya masih bekerja.
Saya yang kelelahan tak bisa membantu adik. Saat berbuka, kami menikmati sajian
yang sudah lebih dari cukup, sekalipun barangkali tidak sekomplit rumah tangga
lain. Alhamdulillah, hari ini kami berbuka nikmat sekali. Adik laki-laki yang
baru saja tiba pun membawa sate, maka menjadilah kenikmatan semakin bertambah.
Sebelum adzan Isya berkumandang, saya sudah berangkat ke masjid
dengan mengenakan sandal jepit hitam, dan sesampai di masjid, sengaja saya
letakkan di daerah tepi dengan posisi seperti orang Jepang meletakkan sandalnya,
yaitu ujung sandal menghadap ke arah luar, sehingga siap dipakai. Di sebelahnya
ada sandal berwarna sama, dengan penanda keperakan di kedua ujungnya.
Barangkali karena kelelahan karena berkendara, saya yang semula
hendak i’tikaf terpaksa harus pulang cepat karena perut sangat melilit. Ketika
hendak mengambil sandal, ternyata hanya ketemu satu bagiannya. Saya lihat ada
seorang ibu yang buru-buru dan tidak melihat sandal yang dikenakannya. Saya tak
sempat mengingatkannya atas kekeliruaan tersebut. Akhirnya saya pulang dengan
mengenakan sandal yang bukan pasangannya. Saya yakin ibu tadi tidak sengaja,
sebab sandal beliau lebih bagus daripada sandal milik saya.
Keesokan harinya, sandal ibu yang satu lagi saya masukkan dalam
tas kresek dengan maksud menaruhnya di pelataran masjid agar beliau dapat
melihatnya, dan saya mengenakan sandal yang lain. Sandal yang pasangannya
hilang saya tinggalkan di rumah. Seandainya nanti sandal saya tidak
dikembalikan, maka saya tidak perlu pulang dengan sandal yang berbeda.
Alhamdulillah, saat hendak meninggalkan masjid, pasangan sandal
saya ada di depan masjid, dan sandal milik ibu yang saya letakkan di sana juga
sudah tak ada. Barangkali beliau berpikiran sama dengan saya atau justru beliau
datang ke masjid dengan sandal yang berbeda pasangan? Entahlah, tetapi kami
sama-sama berpikir, bahwa sekalipun hanya sandal jepit yang mudah dibeli di
pasar manapun, tetap saja harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Perkara sepele
memang, namun jika diabaikan maka tentulah akan membentuk jiwa dan pikiran yang
tak patut kelak. Allah telah memberikan kami pelajaran, bahwa kelak jika kami
menerima uang, jabatan, kesenangan yang bukan hak kami, atau menerimanya
sebagai pelicin urusan (suap), maka di dalam jiwa telah tertanam pengertian,
bahwa kita tak berhak menggunakan segala sesuatu yang bukan hak dan terlarang
keras menerimanya apapun alasannya
segala hal juga jangan di sepelekan
ReplyDelete