Friday 19 February 2016

Rindu pada Jatinangor


Malam ini malam Juma’t, bertepatan dengan malam nisfu syaban, yang secara bahasa berarti pertengan bulan Syaban. Malam yang sebagian umat islam meng-istimewakan malam ini dengan melakukan berbagai macam amalan dan sebagian lain menganggapnya tidak berbeda dengan malam-malam yang lain. Tapi itu bukan soal. Tapi entah kenapa, malam ini terasa sangat tenang. Selepas hujan gerimis yang datang pada mula petang tadi, berujung pada kesunyian dan betul-betul lengang. Aku yang seharian di kampus, mencoba merebahkan badan, istirahat, berharap bisa tidur. Tapi sekian lama aku terbaring, tak juga ada perasaan mengantuk apalagi tidur. Aku hanya bolak balik melihat handphone, mengutak atik BBM, sesekali termenung. Lama terdiam, lalu entah kenapa tiba-tiba berpuluh-puluh memori dan kenangan datang membuatku kembali ke sekitar 8 bulan berlalu, membuatku bernostalgia kembali ke Jatingangor, mengenang masa-masa selama Pra S2 dan di asrama.
            Ternyata begitu banyak kisah yang kami tinggalkan di sana, khususnya di asrama. Asrama yang menjadi saksi perjuangan kami selama hampir setahun di ITB Jatinangor. Asrama yang melihat segala kerja keras (penderitaan) kami, kelucuan kami, kebersamaan kami, kisah kami. Di asrama inilah kami begadang dengan tekun menyelesaikan tugas-tugas kuliah, begadang menyelesaikan soal-soal agar kami bisa paham, belajar bersama dan saling mengajarkan satu sama lain. Di asrama ini pula, kami kadang melewati malam kami dengan canda tawa ketika tidak ada tugas. Tentunya pionernya adalah Arik Aguk dan Hardi Hamzah. Dan tentu saja juga, korbannya biasanya adalah Akbar Tanarub. Asrama tempat kami saling menunjukkan kebolehan memasak, kebolehan main game, dan kebolehan main kartu untuk menunjukkan siapa yang paling jago, atau lebih tepatnya menunjukkan siapa yang paling sering kalah.
Di asrama kami sudah merasakan bagaimana rasanya mengangkat air dari lantai satu ke lantai lima, sampai sampai ada yang masuk rumah sakit, hehehe. Di asrama ini kami sudah merasakan bagaimana rasanya serangan halilintar dan guntur yang menggelegar yang membuat atap asrama hancur dan alarm kebakaran berbunyi sehingga penghuni asrama yang perempuannya pada berhamburan ke bawah dengan pakaian seadanya hihihih. .. di asrama kami punya ibu asrama yang cetar membahana, pokoknya tidak terlupakan deh... aku beritahu inisialnya aja, Bu K :D... jangan coba-coba menjemur pakaian sembarangan di asrama kalau tidak ingin berakhir tragis seperti saya. Pakaian saya yang kujemur di pagar terali asrama lantai lima saja, di sita dan sampai sekarang gak kembali kembali wkkkwk,, atau jangan berani nunggak bayar asrama kalo ga mau namanya terpajang ria di papan info asrama, yang bisa dibaca oleh semua penghuni yang lewat.
Lalu kenangan yang lain datang silih berganti, muncul satu persatu, datang dan pergi berlalu: tentang pasar tumpah, Jatos, kantin TB2, Bu Kakay, malam tahun baru dekat danau, DAMRI, Bu Kakay lagi, tes TPA, Pak Enjang, Mam Vita, senam dan softskill, GKU, Pak Pur, Ketawa pak Herman, Bu Kakay lagi, lelucon pak Hendro, senyum ejekan pak Rahmat, Bu Siti, Cibaduyut, Pak Basar, Kawah Putih, Pak Acep, Warung “Encep”, Fotokopi uda, warung padang. Di Jatinangor, ada degup jantung yang tuntas namun tak sedikit rasa yang tersumbat meringkusnya secara manis sekaligus meringis.
Jatinangor telah memikat kami mahasiswa pra s2 dan membuat kami selalu rindu kembali melihatnya, sekedar mengujunginya. Aku telah membuktikan betapa mahasiswa pra s2 tidak bisa lupa pada bekas rumah mereka ini. Mereka betul-betul datang kembali ke Jatinangor untuk bernostalgia. Aku sendiri sudah 2 kali kembali mengunjungi Jatinangor sejak pindah ke Bandung sekedar untuk datang ke pasar tumpah dan keliling asrama.
Aku membanjiri Jatinangor dengan rindu di minggu pagi yang dingin. Sudah setahun lebih namun ingatan pada nya terus melekat. dan Aku memang orang yang kerap terjebak masa lalu.

No comments:

Post a Comment