Ada
hal yang entah harus kita menanggapi lucu, sedih, atau bersikap bagaimana.
Yaitu ketika dihadapkan pada kondisi dimana para pengurus-pengurus organisasi
keislaman (aktivis islam) yang saya anggap terkadang bersikap tidak konsisten,
khususnya masalah bagaimana muamalah (hubungan) dengan yang bukan mahram. Ada
fenomena yang saya sendiri pernah melewatinya, yaitu dimana ketika ada seorang
ikhwa yang begitu “tertunduk” ketika melewati akhwat atau ngotot tidak mau
berjabat tangan dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Sikap yang melambangkan
keshalihan dan tingkat ketakwaan yang tinggi. Dan tentu sosok laki-laki ideal
dimata akhwat tentunya. Namun, di sisi lain, sepuluh meter dari posisi
menunduknya tadi karena melewati akhwat, dia tampak asyik-asyik saja dan tanpa
menundukkan pandangan pada wanita lain yang lalu lalang. Bukankah itu sebuah
sikap ketidak-konsistenan? Atau seorang akhawaat yang baru jarak 5 meter dari
ikhwa sudah menutup mukanya dengan ujung jilbabnya, sebuah sikap yang merupakan
ciri-ciri akhwat militan. Namun sosok militan itu hilang ketika bermuamalah
dengan daeng becak atau tukang sayur, sambil bercanda dan tertawa malah.
Lagi-lagi sebuah sikap plin-plan. Saya jadi ingat dosen agama saya pernah
menceritakan tantang adiknya yang menganggap haram mendengar musik, namun
ketika menonton televisi yang ada musiknya, dia santai-santai aja menikmatinya.
Dosen saya mengatakan,”Kalo memang kita memahami sesuatu, kita harus
melaksanakaanya secara konsisten, dimana pun dan bagaimanapun. Kalau tidak,
bukankan kita seperti orang yang munafik?”
Saya
bukannya tidak sepaham dengan sikap menjaga pergaulan seperti contoh di atas,
bahkan sangat salut dan setuju pada mereka yang mampu menjaga batas-batas
pergaulan menurut islam. Saya juga pernah lama di fase ini. Namun seiring waktu
setelah melewati fase-fase kehidupan dan dihadapkan pada kehidupan nyata dalam
masyarakat, saya sadar bahwa idealitas kita harus kita sesuaikan dan seyogyanya
bisa bersikap lebih bijaksana.
Saya
mulai membandingkan tata cara bagaimana cara bersikap dengan lawan jenis.
Pertama, Ketika saya misalnya menundukkan pandangan dan tidak ngobrol pada
akhwat tapi sebaliknya tidak menundukkan pandangan dan mengobrol kepada yang
bukan akhwat, saya merasa seorang munafik. Sebuah perilaku yang tidak
konsisten, plin-plan.Kedua, Ataukah saya
menundukkan pandangan dan tidak bersentuhan dengan semua lawan jenis yang bukan
mahram, tidak mau bercakap-cakap, tidak tersenyum, jika disapa tidak mengubris,
dan menjaga jarak dengan semua orang. Maka sayalah orang yang paling arogan dan
eksklusif. Jelas terkesan ekslusif, walaupun niat kita baik, menjaga pergaulan.
Namun orang hanya melihat dari luar, kamu diajak biacara lantas acuh tak acuh,
maka kamu akan dicap arogan dan tidak sosialis. Ketahuilah, mudharat yang akan
timbul akan jauh lebih besar dari manfaat yang kamu inginkan. Teman-temanmu
akan sedikit. Bukankah menjalin silahturahmi bisa meluaskan rejeki dan menambah
umur? Bukankan bermuka ceria pada kawan adalah sedekah.
Maka
setelah melalui proses disertai perenungan (ciee perenungan), saya memilih
untuk bergaul dengan siapa saja, namun secara sewajarnya. Tidak peduli anggapan
ikhwa/akhwat yang “menuduh” saya futur, tidak menjaga hijab, atau apalah...saya
memilih mengurangi mudharat dan memperbaiki citra kalau orang-orang yang ikut
pengajian terkesan kaku. Mulai dari teman, saya sengaja tidak menjaga jarak
dengan teman-teman perempuan seperti juga saya tidak akan terlalu tunduk gimana
gitu kalau ketemu akhwat, semuanya sama, menjaga batas secara sewajarnya, tidak
dibuat-buat. Begitu pula dengan pakaian saya, saya lebih memilih
pakaian-pakaian yang meski tidak koko tapi rapi, bersih, dan sopan. Saya lebih
sering menggunakan kemeja atau kaus berkerah, atau celana saya tidak sampai
setengah betis, tapi berada di pas si atas mata kaki, semua itu agar kita tidak
terlalu berbeda dengan masyarakat umunya sehingga apa yang kita sampaikan
dengan mudah diterima.
Dan hasilnya, paling saya rasakan dalam keluarga
saya. Ketika masih SMA dulu, saya menghadapi semua secara emosi. Jika adik
tidak sholat, langsung main pukul. Tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat.
Tidak boleh ini, tidak boleh itu, pokoknya semua keinginanku aku paksakan.
Akibatnya, orang tua tidak respek dengan kelakuan seperti itu, meski yang kita
sampaikan benar. Betapa banyak kebenaran yang tertolak karena cara kita
menyampaikan kebenaran itu yang tidak benar. Maka saya sadar, dan mulai
melakukan pendekatan-pendekatan yang tidak menggurui. Lebih menunjukkan sikap
yang baik dan ramah. Berusaha menjadi berprestasi. Inilah islam yang
sesungguhnya. Hasilnya, Saya tidak pernah ceramahi orang tua saya, suruh adik
saya sholat, tapi alhdulillah, karena melihat tingkah dan sikap kita yang
memang baik, maka dengan sendirinya mereka akan tertarik dengan kita. So,
janganlah kita seperti kura-kura yang berpura-pura.
No comments:
Post a Comment