“Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam” (QS. 21 : 107).
Misi keberadaan
kita di dunia
ini tiada lain
kecuali menjadi rahmat
bagi semesta alam. Misi tersebut
tak bisa tidak mengharuskan kita hidup dalam jalan
dakwah. Mengapa? Sebab
hanya dakwah yang
membuat seorang muslim konsisten
mengajak orang lain
ke arah kebaikan
dan kasih sayang.
Sedang jalan selain dakwah adalah jalan yang penuh
ketidakpastian dan keraguan untuk merealisasikan misi keberadaan manusia
muslim tersebut. Jalan
yang seringkali menggelincirkan seseorang kepada sikap egois dan hanya
mementingkan diri sendiri
Untuk berdakwah,
kita perlu memahami
tahapan dakwah. Secara
umum, ada dua tahapan dakwah, yakni dakwah umum
(‘ammah) dan dakwah khusus (khossoh). Dakwah ‘ammah
adalah dakwah yang
ditujukan kepada masyarakat
umum tanpa adanya hubungan yang intensif
antara da’i (orang
yang berdakwah) dengan mad’u (orang
yang didakwahi). Sebagian besar
fenomena dakwah yang
ada di masjid-masjid
dan media massa adalah
dakwah ‘ammah. Follow
up (kelanjutan) dari
dakwah ‘ammah adalah dakwah
khossoh. Yakni dakwah
kepada orang-orang terbatas
yang ingin bersungguh-sungguh mengamalkan Islam.
Hubungan antara da’i dan mad’u berlangsung intensif pada dakwah khossoh.
Umumnya, mad’u pada dakwah tahapan khusus ini dikumpulkan dalam
kelompok-kelompok kecil berjumlah
3-12 orang yang
disebut dengan halaqah
(lingkaran). Di beberapa kalangan
halaqah juga disebut
dengan pengajian kelompok, tarbiyah, mentoring, ta’lim, usroh, liqo’, dan lain-lain. Di dalam
halaqah inilah murobbi (pembina) berada.
Pengertian Murobbi
Murobbi adalah
seorang da’i yang membina mad’u dalam
halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah
(pemimpin), ustadz (guru),
walid (orang tua),
dan shohabah (sahabat)
bagi mad’unya. Peran yang
multifungi itu menyebabkan
seorang murobbi perlu
memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin,
mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan
berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan
dan pengalaman seseorang sebagai murobbi.
Peran murobbi
berbeda dengan peran
ustadz, muballigh atau
penceramah pada tataran dakwah ‘ammah.
Jika peran muballigh titik tekannya pada penyampaian materi-materi Islam
secara menarik dan
menyentuh hati, maka
murobbi memiliki peran
yang lebih kompleks daripada
muballigh. Murobbi perlu
melakukan hubungan yang
intensif dengan mad’unya. Ia
perlu mengenal “luar
dalam” mad’unya melalui
hubungan yang dekat dan
akrab. Ia juga
memiliki tanggung jawab
untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus
bertindak sebagai pembina
mental, spritual, dan
(bahkan) jasmani mad’unya. Peran
ini relatif tidak
ada pada diri
seorang muballigh. Karena
itulah, mencetak murobbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh
sukses.
Dalam skala
makro, keberadaan murobbi
sangat penting bagi
keberlangsungan perjuangan
Islam. Dari tangan
murobbilah lahir kader-kader
dakwah yang tangguh
dan handal memperjuangkan Islam.
Jika dari tangan
muballigh lahir orang-orang
yang “melek’ terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka murobbi melajutkan
kondisi “melek” tersebut menjadi
kondisi terlibat dan
terikat dalam perjuangan
Islam. Urgensi murobbi dalam
perjuangan Islam bukan
hanya retorika belaka,
tapi sudah dibuktikan dalam sejarah
panjang umat Islam.
Dimulai oleh Nabi
Muhammad saw sendiri
ketika beliau menjadi murobbi bagi para sahabatnya. Kemudian dilanjutkan
dengan para ulama salaf (terdahulu) dan
khalaf (terbelakang), sampai
akhirnya dipraktekkan oleh
berbagai harakah (gerakan) Islam
di seluruh belahan
dunia hingga saat
ini. Tongkat esatafeta perjuangan Islam
tersebut dilakukan oleh
para murobbi yang
sukses membina kader-kader dakwah yang tangguh.
Pada intinya, umat
Islam tak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri
belum lahir sebanyak-banyaknya murobbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk
memperjuangkan Islam.
Keutamaan murobbi
Mengingat begitu pentingnya
peran murobbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah,
sudah seharusnya kita
memiliki keseriusan untuk
mencetak murobbi-murobbi sukses. Namun
ternyata mencetak murobbi
sukses bukanlah hal
yang mudah. Ada berbagai
kendala yang
menghadang. Kendala tersebut
dapat dikelompokkan dalam
tiga bagian.
1.Kendala kemauan
Yakni kendala
berupa belum munculnya
kesadaran dan motivasi
yang tinggi dari sebagian kita
untuk menjadi murobbi.
Mungkin disebabkan belum
tahu pentingnya murobbi, belum
percaya diri untuk menjadi murobbi, atau karena tidak menganggap prestisius
peran murobbi dalam masyarakat.
2.Kendala kemampuan
Yakni kendala
berupa minimnya pengetahuan
dan pengalaman menjadi
murobbi. Memang, menjadi murobbi
membutuhkan berbagai kemampuan
yang perlu terus ditingkatkan. Beberapa
kemampuan yang perlu
dimiliki, misalnya pengetahuan agama, dakwah,
pendidikan, organisasi, manajemen,
psikologi, dan lain-lain. Kemampuan ini masih terbatas dimiliki oleh
kebanyakan umat.
3.Kendala kesempatan
Yakni kendala ketiadaan
waktu dan kesempatan untuk menjadi
murobbi. Kehidupan dunia
yang penuh godaan
materi ini membuat
orang terlena untuk
mengejarnya, sehingga tak punya
waktu untuk memikirkan
hal-hal yang strategis.
Termasuk di dalamnya tak
punya waktu untuk serius menjadi
murobbi. Padahal keberlangsungan eksistensi umat sangat tergantung pada
keberadaan murobbi-murobbi handal.
Mestinya, berbagai
kendala tersebut dapat
diatasi dengan kekuatan
iman dan taqwa kepada
Allah swt. Tanpa
kekuatan iman dan
taqwa, obsesi menjadi
murobbi sukses menjadi musykil
dilakukan.
Selain dengan iman dan
taqwa, untuk mengatasi berbagai kendala itu kita juga perlu menyadari beberapa
keutamaan menjadi murobbi, diantaranya :
1.Melaksanakan
kewajiban syar’i.
Menuntut ilmu wajib hukumnya
dalam Islam. Apalagi jika yang dituntut itu ilmu Islam. Cara
yang paling efektif
menuntut ilmu Islam
adalah dengan halaqah, seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad
saw. Menurut kaidah
fiqih, jika pelaksanaan kewajiban
membutuhkan sarana, maka
sarana itu menjadi
wajib untuk diadakan. Logikanya,
jika menuntut ilmu
Islam itu wajib
dan cara yang paling efektif menuntut ilmu Islam
adalah halaqah, maka halaqah menjadi wajib untuk diadakan.
Halaqah tidak
akan berjalan efektif
tanpa adanya dua
pihak, pembina (murobbi) dan peserta (mad’u). Karena itu,
menjadi murobbi dan mad’u menjadi
wajib juga. Allah
berfirman : “..Hendaklah kamu
menjadi orang-orang robbani,
karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab
dan disebabkan kamu
tetap mempelajarinya” (QS. 3 :79). Pada ayat tersebut, Allah
menyuruh setiap muslim menjadi
murobbi (mengajarkan Al Kitab) dan
menjadi mad’u (mempelajari
Al Kitab). Tidak boleh
hanya mau menjadi
mad’u saja, tapi
tidak mau menjadi murobbi. Jadi kesimpulannya, setiap muslim
wajib mengupayakan dirinya untuk menjadi
murobbi.
2. Menjalankan sunnah
rasul.
Rasulullah saw
telah membina sahabat-sahabatnya dalam
majelis zikir atau halaqah.
Rasulullah membina halaqah
selama hidupnya, baik
ketika di Mekah (contohnya di
Darul Arqom) maupun
di Madinah (contohnya
majelis ta’lim di Masjid
Nabawi). Jadi, menjadi
murobbi berarti melaksanakan
sunnah rasul (kebiasaan Rasulullah
saw). “Sebagaimana (Kami
telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul
di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan
mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah
(Sunnah Rasul), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS.
2 : 151).
3.Mendapatkan pahala
yang berlipat ganda.
Barangsiapa yang
mengajarkan Islam kepada
orang lain maka
ia akan mendapatkan pahala.
Semakin efektif sarana
pengajarannya, semakin berlipat ganda pahala
yang akan didapatkan.
Halaqah adalah sarana
yang paling efektif untuk
mengajar Islam. Karena
itu, menjadi murobbi
akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
4.Mencetak
pribadi-pribadi unggul
Nabi Muhammad
saw adalah murobbi
yang telah berhasil
mencetak generasi terbaik sepanjang
masa. Oleh sebab
itu, menjadi murobbi
berarti turut membina pribadi-pribadi unggul
harapan umat dan
bangsa. Sangat aneh
jika seorang muslim tidak
mau menjadi murobbi
padahal ia sebenarnya
sedang melakukan tugas yang besar
dan penting bagi masa depan umat dan bangsa.
5.Belajar berbagai
keterampilan
Dengan membina, seorang
murobbi akan belajar tentang berbagai hal. Misalnya, ia
akan belajar tentang
bagaimana cara meningkatkan
kepercayaan diri,
komunikasi, bergaul, mengemukakan
pendapat, mempengaruhi orang
lain,
merencanakan sesuatu,
menilai orang lain,
mengatur waktu, mengkreasikan sesuatu, mendengar
pendapat orang lain,
mempercayai orang lain,
dan lain sebagainya. Pembelajaran
tersebut belum tentu
didapatkan di sekolah
formal. Padahal manfaatnya begitu
besar, bukan hanya
akan meningkatkan kualitas pembinaan selanjutnya, tapi juga bermanfaat
untuk kesuksesan hidup seseorang.
6.Meningkatkan iman dan
taqwa.
Dengan menjadi murobbi, seseorang
akan dapat meningkatkan
iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Secara psikologis, orang yang mengajarkan orang lain akan
merasa seperti menasehati
dirinya sendiri. Ia
akan berupaya
meningkatkan iman
dan taqwanya kepada
Allah seperti yang
ia ajarkan kepada orang
lain. Dampaknya, hidupnya
akan menjadi tenang
karena dekat dengan Allah dan terhindar dari
kemaksiatan.
7.Merasakan manisnya
ukhuwah
Untuk mencapai
sasaran-sasaran halaqah,
murobbi dituntut mampu
bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama tersebut
akan berbuah pada
manisnya ukhuwah Islamiyah di
antara murobbi dan
mad’u. Betapa banyak
orang Islam yang tidak
dapat merasakan manisnya
ukhuwah. Namun dengan
menjadi murobbi, seorang muslim akan berpeluang untuk merasakan manisnya
ukhuwah.
Dengan mengetahui
berbagai keutamaan murobbi tersebut, tak alasan lagi bagi kita untuk mengelak menjadi murobbi. Kita
harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan diri kita sebagai murobbi yang
sukses membina mad’u. Inilah pekerjaan
besar yang masih banyak “lowongannya”. Inilah tugas besar yang menanti kita
untuk meresponnya.
Syarat Murobbi
Lalu siapa
saja yang boleh
menjadi murobbi? Sebenarnya
setiap orang Islam
boleh dan berhak
menjadi murobbi. Tidak
ada alasan untuk
melarang seseorang menjadi murobbi. Sebab menjadi murobbi adalah
bagian dari pekerjaan dakwah. Dan dakwah merupakan kewajiban setiap muslim.
Jadi setiap muslim boleh saja menjadi murobbi sebagai salah satu pelaksanaan
kewajiban dakwahnya.
Namun agar
murobbi tidak mengalami
kesulitan dalam membina
mad’unya, ia perlu memenuhi
beberapa persyaratan, antara lain:
1.Memiliki pengetahuan
tentang Islam sebagai
minhajul hayah (metode
hidup), khususnya menguasai kurikulum halaqah (yang biasanya dibuat oleh
jama’ah).
2.Mempunyai kemampuan
membaca dan menulis
huruf Arab, meskipun
tingkat dasar.
3.Tidak terbata-bata
dalam membaca Al Qur’an.
4.Mempunyai kemampuan
mengorganisir.
5.Mempunyai kemampuan
merespon dan menyelesaikan masalah.
6.Mempunyai kemampuan
menyampaikan ide dan
pengetahuannya kepada orang lain.
7.Berusaha menghiasi
dirinya dengan akhlaq
Islami, khususnya akhlaq
sebagai seorang murobbi.
Tugas dan hak murobbi
Sebagai pemimpin
dalam halaqah, murobbi
perlu memahami tugas-tugasnya. Tugas murobbi adalah :
1.Memimpin pertemuan.
2.Mengambil keputusan
dalam syuro’ halaqah.
3.Menasehati dan
mengupayakan pemecahan masalah mad’u.
4.Mempertimbangkan
berbagai usulan dan kritik mad’u.
5.Mengawasi dan
mengkoordinir penghimpunan dan penyaluran infaq.
6.Menghidupkan suasana
ruhiyah, fikriyah dan da’wiyah dalam halaqah.
7.Membangun kinerja
halaqah yang solid,
sehat, dinamis, produktif
dan penuh ukhuwah.
8.Memahami dan
menguasai kondisi mad’u serta meningkatkan potensi mereka.
9.Meneruskan dan
mensosialisasi informasi dan kebijakan jama’ah.
10. Mengupayakan terealisirnya
berbagai program halaqah dan jama’ah
dalam
lingkup halaqah.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, murobbi mempunyai hak untuk :
1.Didengar dan ditaati.
2.Dimintai pendapat.
3.Dihargai dan
dihormati.
4.Mengajukan permintaan
bantuan untuk melaksanakan tugas.
5.Memutuskan
kebijakan.
6.Membentuk kepengurusan halaqah.
No comments:
Post a Comment