Tuesday 23 July 2013

Peran Media dalam Mengontrol Pikiran Manusia


Media massa merupakan salah satu unsur penting yang sangat berperan dalam mengotrol opini publik/masyarakat umum. Media dapat menjadi teman yang baik dan bisa menjadi sosok monster yang dapat mempengaruhi opini terhadap suatu isu yang sedang berkembang.
Perlu kita pahami, media tidak selalu memberikan informasi yang benar-benar berdasarkan fakta. Media terkadang memanfaatkan kemampuan mereka sebagai pengendali opini publik untuk malah menyamarkan fakta yang ada dan menciptakan fakta-fakta baru yang mereka ulas berkali-kali seolah-olah itu merupakan fakta yang benar. Dan dari sinilah opini publik dan masyarakat awam khususnya berubah serta mulai terbentuk dengan keragaman fakta baru yg diangkat oleh media.
Media bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa adanya - seperti kata sebuah koran “Bijak di garis tak berpihak”- . Media adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan ideologisnya. Ideologi yang dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan. Media berpihak pada kelompok dominan, menyebarkan ideologi mereka sekaligus mengontrol dan memarginalkan wacana ideologi kelompok-kelompok lain. Salah satu kelompok-kelompok dominan itulah  yang mem-blow up berita-berita terorisme islam dan menjadikan isi beritanya seolah-olah islam adalah agama radikal dan penuh dengan makna teror dalam ajarannya.
Pemikiran publik yang mulai teracuni tentang terorisme islam akhirnya menciptakan spekulasi antara kaum muslim untuk melahirkan sikap saling curiga di tengah-tengah umat, bahkan bisa  memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas tidak terpuji dan diharamkan dalam islam. Kemudian selain itu akan melahirkan tindakan melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain karena curiga atau rasa khawatir yang berlebihan. Dan bahkan yang paling tragis melahirkan rasa takut di kalangan umat islam terhadap agamanya sendiri, hingga tak heran jika sesama muslimin sendiri saling terjadi ghibah dimana biasanya para muslim yang sedang berusaha untuk kaffah dan istiqomah menjadi sasaran caci bahwa mereka adalah teroris.
Saya ingin menjelaskan atau menceritakan sedikit tentang apa itu teroris supaya tidak terjadi kerancuan dalam memahaminya. Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakuti,mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh untuk menyebarkan rasa takut. Terorisme memiliki karakter: korban bukan merupakan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “ Bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”. Teroris nampaknya adalah seorang pribadi yang narsitis, dingin secara emosional, asketis, kaku fanatis, dst.
Dalam kaitannya dengan terorisme, muncul pertanyaan yang tidak pernah terjawab, adakah korelasi fungsional antara islam dan terorisme? Bisakah gerakan keagamaan yang diduga dalang terorisme sebagai representasi islam, baik dalam ranah ajaran maupun pengikutnya? Pertanyaan dia atas terus mengalir deras, sederas banjir. Stigmatisasi islam sebagai agama teroris makin dahsyat. Ini  terkait erat dengan maraknya gerakan islam politik yang menunjukkan pandangan-pandangan fundamentalistik. Fenomenanya, pasca runtuhnya menara kembar WTC, respon sebagian besar gerakan Islam Politik bukan malah simpatik terhadap korban kemanusiaan, melainkan makin memperbesar resistansi terhadap barat. Yang mengemuka adalah semangat anti barat. Apaun yang datang dari barat  senantiasa dikecam dan ditolak.
Sebenarnya isu memerangi terorisme adalah perang melawan Islam dan kaum muslimin. Mereka mencoba membidik umat islam di balik isu terorisme. Mereka takut akan bangkitnya kaum muslimin. Islam dianggap ancaman karena Islam bukan hanya sebagai agama, namun lebih kepada ideologi atau cara pandang hidup (way of ilfe) umatnya. 
 Saat ini umat islam tertuduh dan  semua ketakutan dengan segala tentang islam, karena selalu dikaitkan dengan isu terorisme. Para pelajar, aktivis Islam, dan semisalnya menjadi resah. Mereka khawatir dituduh dan dianggap sebagai sarang dan penyedia serta membantu aktivitas terorisme.  Gerakan-gerakan dakwah pun dicurigai meskipun gerakan dakwah itu terbuka dan tak ada sangkut pautnya dengan teroris. Beberapa orang pun mengawasi ketat anak remajanya yang mau berangkat mengaji. Padahal hal itu tak pernah terjadi sebelumnya. Mereka menanyakan ngajinya sama siapa, tempatnya dimana, dan segala macam secara berulang-ulang. Bahkan di sebuah wilayah , beberapa orang yang hendak melakukan khuruj (aktivitas yg rutin dilakukan oleh Jama’ah Tabligh) di sebuah masjid, ditolak warga setempat pasca pengemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Calton. Warga setempat tidak mau daerahnya dijadikan tujuan orang luar. Mereka takut orang-orang tersebut terlibat terorisme. Sikap PARANOID ini muncul belakangan di beberapa daerah. Ini terjadi setelah televisi dengan sangat gencar menyebarkan berita terorisme. Bukannya objektif, pemberitaan di media massa cenderung menstigmatisasi negatif islam dan kaum muslimin.
Belum jelas benar siapa pelakunya, media massa langsung menyorot pesantren. Pesantren dianggap mengajarkan jihad dan ini menjadi inspirasi para teroris. Media massa pun sibuk mencari latar belakang orang-orang yang diduga teroris dengan melakukan interogasi dan inkuisasi terhadap almamater, keluarga, dan para tetangga. Tanpa disaring, berita isu langsung disiarkan. Padahal tidak semua sumber berita  yang didapatkannya layak disiarkan. Hal yang sama tidak pernah dilakukan terhadap para koruptor. Adakah media massa yang pernah mengaitkan koruptor dengan almamaternya? Kemudian menyatakan bahwa universitas X telah mengajarkan korupsi? Atau mencari guru dan dosennya karena dianggap sebagai inspirasi untuk korupsi?
Lihat saja bagaimana media massa seolah jadi “orang bodoh” dan menurut saja arahan sumber-sumber mereka. Sikap kritis mereka hilang. Bahkan untuk mencari alternatif narasumber lain. Sampai-sampai ketika sumber-sumber  berita mereka menyatakan berita salah pun, ditelan mentah-mentah. Ketakutan akan islam akan pun mulai merambah pada perbuatan ekstrim seperti yang terjadi di jerman, seorang pria menusukkan pisau dapur berukuran 16 cm sebanyak 16 kali ke tubuh wanita muslim yg berjilbab dan ironisnya wanita ini tengah mengandung 3 bulan. Melihat keadaan seperti ini para muslim yg merasa diintimidasi akan mulai berontak dan melakukan serangkaian aksi membela sesama muslim yg lain, meski terkadang jalur yang dipilih pun tidak selalu benar. Kondisi seperti ini TENTU SAJA menarik bagi media untuk meliputnya, meliput konflik tentang kemarahan kaum muslim dan lebih menuju peliputan tindakan-tindakan ekstrim kaum muslim selama membela diri dan tidak memperdulikan alasan kaum muslim kenapa mereka berlaku demikian. Bagi mereka yg tidak mengerti duduk perkara yg terjadi, mereka hanya akan mengambil mentah  dari setiap fakta realitas yang diungkap media. Padahal seandainya semua media sebagai wadah pentalur informasi sesuai realitas yg ada, tentu saja publik tidak akan mudah terpecah belah dalam berasumsi dan menentukan sikap kepada kaum muslimin.
Ibarat sayur tanpa garam, itulah perumpamaan keberadaan media massa di tengah kehidupan masyarakat. Keberadaannya seolah menjadi candu yg telah menghipnotis publik, ketiadaaannya akan menjadikan masyarakat kehausan dan selalu mencari-cari. Kemampuannya dalam mengolah berita dan menjadikannya  sebagai konsumsi publik benar-benar telah menunjukkan betapa media  memiliki kekuasaan dalam mengendarai pemikiran publik. Namun seharusnya media benar-benar menjadi sumber informasi yang akurat, sumber informasi fleksibel yg memandang dan menyoroti berbagai masalah dari dua sudut pandang sehingga dengan demikian ibarat penyajian makanan, maka media dapat memberi sarana  kepada publik untuk memilih tentang bagaimana nantinya mereka menelan berita yg mereka konsumsi, memberi fasilitas kepada publik untuk menentukan pada kondisi atau situasi berita seperti apa mereka bersikap dan membiarkan publik  bereksplorasi sendiri terhadap informasi yg mereka peroleh. Seperti kasus-kasus yg terjadi  dengan agama islam sendiri, berdasarkan dari fakta yg didapat, pencitraan “islam yg damai” telah berubah menjadi “islam yang  penuh teror”. Hal ini akibat dari pemberitaan media yg cenderung lebih menyudutkan dan terlalu sering mengkonotasikan islam sebagai agama yg penuh kekerasan. Dan dampak dari semua ini adalah tak jarang terjadi permusuhan antara kaum muslim sendiri karena saling mencurigai.
Masyarakat juga harus tabayyun (mengklarifikasi ) berita yang datang, sehingga masyarakat menjadi lebih bijak dalam menilai segala setuasi yang ada., tidak mudah terpancing amarah dan bertindak ekstrim.

No comments:

Post a Comment