Media
massa merupakan salah satu unsur penting yang sangat berperan dalam mengotrol
opini publik/masyarakat umum. Media dapat menjadi teman yang baik dan bisa
menjadi sosok monster yang dapat mempengaruhi opini terhadap suatu isu yang
sedang berkembang.
Perlu
kita pahami, media tidak selalu memberikan informasi yang benar-benar
berdasarkan fakta. Media terkadang memanfaatkan kemampuan mereka sebagai
pengendali opini publik untuk malah menyamarkan fakta yang ada dan menciptakan
fakta-fakta baru yang mereka ulas berkali-kali seolah-olah itu merupakan fakta
yang benar. Dan dari sinilah opini publik dan masyarakat awam khususnya berubah
serta mulai terbentuk dengan keragaman fakta baru yg diangkat oleh media.
Media
bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa
adanya - seperti kata sebuah koran “Bijak di garis tak berpihak”- . Media
adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan
ideologisnya. Ideologi yang dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan.
Media berpihak pada kelompok dominan, menyebarkan ideologi mereka sekaligus
mengontrol dan memarginalkan wacana ideologi kelompok-kelompok lain. Salah satu
kelompok-kelompok dominan itulah yang
mem-blow up berita-berita terorisme islam dan menjadikan isi beritanya
seolah-olah islam adalah agama radikal dan penuh dengan makna teror dalam
ajarannya.
Pemikiran
publik yang mulai teracuni tentang terorisme islam akhirnya menciptakan
spekulasi antara kaum muslim untuk melahirkan sikap saling curiga di
tengah-tengah umat, bahkan bisa
memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas tidak terpuji
dan diharamkan dalam islam. Kemudian selain itu akan melahirkan tindakan
melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain karena curiga atau rasa
khawatir yang berlebihan. Dan bahkan yang paling tragis melahirkan rasa takut
di kalangan umat islam terhadap agamanya sendiri, hingga tak heran jika sesama
muslimin sendiri saling terjadi ghibah dimana biasanya para muslim yang sedang
berusaha untuk kaffah dan istiqomah menjadi sasaran caci bahwa mereka adalah
teroris.
Saya
ingin menjelaskan atau menceritakan sedikit tentang apa itu teroris supaya
tidak terjadi kerancuan dalam memahaminya. Teror adalah fenomena yang cukup tua
dalam sejarah. Menakuti,mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh
untuk menyebarkan rasa takut. Terorisme memiliki karakter: korban bukan
merupakan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni
“ Bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”. Teroris nampaknya adalah
seorang pribadi yang narsitis, dingin secara emosional, asketis, kaku fanatis,
dst.
Dalam
kaitannya dengan terorisme, muncul pertanyaan yang tidak pernah terjawab,
adakah korelasi fungsional antara islam dan terorisme? Bisakah gerakan
keagamaan yang diduga dalang terorisme sebagai representasi islam, baik dalam
ranah ajaran maupun pengikutnya? Pertanyaan dia atas terus mengalir deras,
sederas banjir. Stigmatisasi islam sebagai agama teroris makin dahsyat.
Ini terkait erat dengan maraknya gerakan
islam politik yang menunjukkan pandangan-pandangan fundamentalistik.
Fenomenanya, pasca runtuhnya menara kembar WTC, respon sebagian besar gerakan
Islam Politik bukan malah simpatik terhadap korban kemanusiaan, melainkan makin
memperbesar resistansi terhadap barat. Yang mengemuka adalah semangat anti
barat. Apaun yang datang dari barat
senantiasa dikecam dan ditolak.
Sebenarnya
isu memerangi terorisme adalah perang melawan Islam dan kaum muslimin. Mereka
mencoba membidik umat islam di balik isu terorisme. Mereka takut akan
bangkitnya kaum muslimin. Islam dianggap ancaman karena Islam bukan hanya
sebagai agama, namun lebih kepada ideologi atau cara pandang hidup (way of
ilfe) umatnya.
Saat ini umat islam tertuduh dan semua ketakutan dengan segala tentang islam,
karena selalu dikaitkan dengan isu terorisme. Para pelajar, aktivis Islam, dan
semisalnya menjadi resah. Mereka khawatir dituduh dan dianggap sebagai sarang
dan penyedia serta membantu aktivitas terorisme. Gerakan-gerakan dakwah pun dicurigai meskipun
gerakan dakwah itu terbuka dan tak ada sangkut pautnya dengan teroris. Beberapa
orang pun mengawasi ketat anak remajanya yang mau berangkat mengaji. Padahal hal itu tak pernah terjadi
sebelumnya. Mereka menanyakan ngajinya sama siapa, tempatnya dimana, dan
segala macam secara berulang-ulang. Bahkan di sebuah wilayah , beberapa orang
yang hendak melakukan khuruj (aktivitas yg rutin dilakukan oleh Jama’ah
Tabligh) di sebuah masjid, ditolak warga setempat pasca pengemboman di hotel JW
Marriot dan Ritz Calton. Warga setempat tidak mau daerahnya dijadikan tujuan
orang luar. Mereka takut orang-orang tersebut terlibat terorisme. Sikap
PARANOID ini muncul belakangan di beberapa daerah. Ini terjadi setelah televisi
dengan sangat gencar menyebarkan berita terorisme. Bukannya objektif,
pemberitaan di media massa cenderung menstigmatisasi negatif islam dan kaum
muslimin.
Belum
jelas benar siapa pelakunya, media massa langsung menyorot pesantren. Pesantren
dianggap mengajarkan jihad dan ini menjadi inspirasi para teroris. Media massa
pun sibuk mencari latar belakang orang-orang yang diduga teroris dengan
melakukan interogasi dan inkuisasi terhadap almamater, keluarga, dan para
tetangga. Tanpa disaring, berita isu langsung disiarkan. Padahal tidak semua
sumber berita yang didapatkannya layak
disiarkan. Hal yang sama tidak pernah dilakukan terhadap para koruptor. Adakah
media massa yang pernah mengaitkan koruptor dengan almamaternya? Kemudian menyatakan
bahwa universitas X telah mengajarkan korupsi? Atau mencari guru dan dosennya
karena dianggap sebagai inspirasi untuk korupsi?
Lihat
saja bagaimana media massa seolah jadi “orang bodoh” dan menurut saja arahan
sumber-sumber mereka. Sikap kritis mereka hilang. Bahkan untuk mencari
alternatif narasumber lain. Sampai-sampai ketika sumber-sumber berita mereka menyatakan berita salah pun,
ditelan mentah-mentah. Ketakutan akan islam akan pun mulai merambah pada
perbuatan ekstrim seperti yang terjadi di jerman, seorang pria menusukkan pisau
dapur berukuran 16 cm sebanyak 16 kali ke tubuh wanita muslim yg berjilbab dan
ironisnya wanita ini tengah mengandung 3 bulan. Melihat keadaan seperti ini
para muslim yg merasa diintimidasi akan mulai berontak dan melakukan serangkaian
aksi membela sesama muslim yg lain, meski terkadang jalur yang dipilih pun
tidak selalu benar. Kondisi seperti ini TENTU SAJA menarik bagi media untuk
meliputnya, meliput konflik tentang kemarahan kaum muslim dan lebih menuju
peliputan tindakan-tindakan ekstrim kaum muslim selama membela diri dan tidak
memperdulikan alasan kaum muslim kenapa mereka berlaku demikian. Bagi mereka yg
tidak mengerti duduk perkara yg terjadi, mereka hanya akan mengambil
mentah dari setiap fakta realitas yang
diungkap media. Padahal seandainya semua media sebagai wadah pentalur informasi
sesuai realitas yg ada, tentu saja publik tidak akan mudah terpecah belah dalam
berasumsi dan menentukan sikap kepada kaum muslimin.
Ibarat
sayur tanpa garam, itulah perumpamaan keberadaan media massa di tengah
kehidupan masyarakat. Keberadaannya seolah menjadi candu yg telah menghipnotis
publik, ketiadaaannya akan menjadikan masyarakat kehausan dan selalu
mencari-cari. Kemampuannya dalam mengolah berita dan menjadikannya sebagai konsumsi publik benar-benar telah
menunjukkan betapa media memiliki
kekuasaan dalam mengendarai pemikiran publik. Namun seharusnya media
benar-benar menjadi sumber informasi yang akurat, sumber informasi fleksibel yg
memandang dan menyoroti berbagai masalah dari dua sudut pandang sehingga dengan
demikian ibarat penyajian makanan, maka media dapat memberi sarana kepada publik untuk memilih tentang bagaimana
nantinya mereka menelan berita yg mereka konsumsi, memberi fasilitas kepada
publik untuk menentukan pada kondisi atau situasi berita seperti apa mereka
bersikap dan membiarkan publik
bereksplorasi sendiri terhadap informasi yg mereka peroleh. Seperti
kasus-kasus yg terjadi dengan agama
islam sendiri, berdasarkan dari fakta yg didapat, pencitraan “islam yg damai”
telah berubah menjadi “islam yang penuh
teror”. Hal ini akibat dari pemberitaan media yg cenderung lebih menyudutkan
dan terlalu sering mengkonotasikan islam sebagai agama yg penuh kekerasan. Dan
dampak dari semua ini adalah tak jarang terjadi permusuhan antara kaum muslim sendiri
karena saling mencurigai.
Masyarakat
juga harus tabayyun (mengklarifikasi ) berita yang datang, sehingga masyarakat
menjadi lebih bijak dalam menilai segala setuasi yang ada., tidak mudah
terpancing amarah dan bertindak ekstrim.
No comments:
Post a Comment